 |
Kibaran merah putih |
Saya sudah 6
tahun berstatus pegawai outsourcing di salah satu perusahaan
BUMN (7 Juli 2010 – sekarang Agustus tahun 2016). Selepas menyandang S.sos, saya
bekerja di sini, unit marketing sangat membutuhkan tenaga tambahan. Karena
berkali-kali sempat patah arang sulitnya mendapat pekerjaan, tidak melewatkan
kesempatan. Apply sana-sini dari Bank, Swasta, statsiun TV, CPNS, dll tes dan
interview ini-itu dengan hasil penjatuhan mental dari seorang HRD, penolakan
dengan alasan lucu, dan pengharapan palsu menunggu panggilan selanjutnya 3
hari, 1 minggu, 2 minggu, hingga 1 bulan saya menunggu dan sudahlah…
Teman-teman
seperjuangan pencari kerja, satu-persatu sudah bekerja di berbagai bidang, mungkin
garis Tuhan yang membawa saya ke perusahaan BUMN ini, tanpa tahu saya akan
bekerja apa saat itu. Kenapa mungkin, karena sejak saya bekerja di sini tak ada
satu pun perusahaan lain yang menghubungi untuk tes atau wawancara. Kemana
belasan surat lamaran saya itu?!
Berjalan
waktu, saya bekerja dengan belajar secara otodidak (tanpa training) dari nol jauh dari ilmu yang saya peroleh di tempat
kuliah, kelamaan saya menikmati pekerjaan ini terkadang jadi kurir, olah data
sistem, dan petugas fotokopi. Sedikit info,
jobdesk saya sebagai sales marketing
menawarkan dan mendealkan produk ke pelanggan, kenyataannya saya bekerja di
belakang layar perusahaan ini mengurus A sampai Z fee salesnya. Bahkan meng-handle pekerjaan 1-3 orang pegawai tetap
sekaligus. Saya lebih baik, ada garda terdepan, petugas jaringan kabel yang
siang terik bekerja menghubungkan komunikasi pelanggan.
Berstatus
sebagai pegawai PKWT/kontrak (Perjanjian Kontrak Waktu Tertentu) di koperasi
pegawai (Kopeg) selama 2 tahun, pegawai koperasi yang tidak bisa menjadi
anggota koperasi karena bukan pegawai BUMN di situ. Januari 2013, terjadi
penyesuaian dimana koperasi tidak boleh mengelola jasa tenaga kerja, dari sini
saya makin paham siapa saya di BUMN ini, status saya adalah pegawai kontrak outsourcing. Sejak itu sampai sekarang,
di bawah naungan anak perusahaan sang BUMN, saya menandatangani surat kontrak
masa kerja 1 tahun. Pembaharuan kontrak tiap 1 tahun sekali, masa kerja 1 tahun
dan penyesuaian UMP (Upah Minimum Propinsi) sesuai ketetapan UU. Ya, saya hanya
digaji Upah Minimum tanpa tambahan uang transport, makan, bahkan jabatan
(kalian bukan siapa-siapa di sini). Pegawai outsourcing
pasti dianggap robot, tidak perlu makan dan ongkos jalan. Luar biasa!
Awalnya hanya
batu loncatan “belajar” bekerja, tapi ilmu dan kepercayaan yang diberikan membuat
saya terlena di perusahaan ini. Semakin mau belajar, semakin pintar, semakin
bertambah pekerjaan yang diberi, dan semakin banyak pujiaan yang didapat.
Begitu kiranya poin awal bekerja yang saya dapat. Sekali lagi, saya bukan
siapa-siapa di tempat ini, tanggung jawab pekerjaan yang sama tapi hanya
dihargai upah minimum, adilkah?!. 6 tahun di perusahaan ini membuat saya kenal
betul tiap detailnya. Saya tahu fasilitas apa saja yang mereka dapat dan
hak-hak lainya yang mereka peroleh, dan saya tidak. Kenapa saya bisa tahu?!
Saya beruntung berada di lingkungan core
bussiness, info-info seperti itu seperti rahasia umum.
Pegawai outsourcing seperti kisah kelam yang
disembunyikan rapat-rapat, saat yang sama pemberitaan perusahaan ini wara-wiri
di portal berita online dengan meraup keuntungan sekian triliyun serta
penghargaan hebat lainnya. Saya tahu berapa besaran bonus yang mereka terima belum lama ini, jangan
tanya berapa, rasanya tak etis menyebutnya. Kebijakan internal membuat kami
pegawai outsourcing juga menerima “kebahagian”
mereka, sekali lagi jangan tanya berapa, nilai positifnya management perusahaan
masih ingat “ada” kami. Sebagai minoritas, pegawai outsurcing, akan ada istilah (entah siapa yang buat) di BUMN ini:
Pegawai tetap disebut karyawan/organik dan Pegawai outsourcing disebut anak outsourcing/Tenaga
Kontrak. Itu salah satu contoh kecil diskriminatif yang saya terima, belum lagi
perbedaan seragam pegawai, gaji, fasilitas, dll.
Buya Hamka
berkata, “…kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja
sekedar bekerja, kera juga bekerja.”
Bukan saya
sedang tidak bersyukur, tapi sabar, nerima, dan bersyukur sudah jadi obat saat
merasa ketidakadilan. Saya juga bagian dari perusahaan ini dan ikut berkontribusi. Ya, munafik tidak kalau saya bilang i love my job?!? Banyak hal yang membuat
saya betah seperti lingkungan pegawai yang membuat saya seperti anak di rumah
kedua dan tidak ada senioritas (bandingkan dengan kerja di swasta). Bak orang
memadu kasih, sebenci apapun kalian pasti ada satu hal yang bisa membuat kalian
kembali. Istilah hubungan cinta, harus ada perjuangan dan pengorbanan dari
keduannya, saat saya pegawai outsourcing
yang selama ini diam saja, menerima saja, sabar saja, bersyukur saja, lalu
sampai kapan?! Bukankah wajar kalau saya mengharap feedback
yang setimpal ?!
Cari aja
kerjaan yang lebih baik !
ini
sepertinya kalimat paling solutif yang sering saya terima. Bapak/ibu itu bukan
solusi, mencari pekerjaan seperti cari jodoh, sudah sesuai kriteria sampai IP
tinggi kalau bukan ya tidak bakal jadi. Ada yang salah dengan sistem outsourcing !!! Perbedaan dan hak-hak
yang pegawai outsourcing terima
terlalu jomplang dibandingkan pegawai tetap. Beberapa permasalahan yang saya
alami:
·
Sistem pembaharuan 30 hari sebelum masa kontrak
habis membuat saya seperti pegawai baru yang mulai dari nol kembali, masa
pengabdian kerja saya tidak diperhitungkan.
·
Tidak adanya evaluasi kerja membuat semua
pegawai outsourcing dianggap sama, menjadi
pegawai baru, sehingga tidak melihat latar belakang pendidikan saya, dimana
jika pegawai tetap itu akan menjadi pembeda gaji dasar. Fyi, pegawai outsourcing berlatar
pendidikan yang beragam dari SMA/SMK sampai D3/S1.
·
Perusahaan outsourcing
sebagai penyedia jasa tenaga kerja pasti meminta fee yang ujungnya memotong
upah kami, karena melanggar UU jika diupah di bawah UMP, maka diupah UMP saja,
tanpa tunjangan apapun. Fyi, besaran
upah yang disepakati antara perusahaan outsourcing
(anak perusahaan) dengan perusahaan klien (BUMN) berbeda dengan yang di dapat
pegawai outsourcing, itu karena potongan
yang bisa mencapai 30%, dan kami tidak pernah tahu besarannya.
·
Tanpa bonus, uang makan, uang transport, uang
skill, uang jabatan, dll. Walau di beberapa kasus ada yang dapat, tapi harganya
menyedihkan.
·
Pegawai outsourcing
berstatus PKWT/kontrak. Padahal PKWT/kontrak tidak untuk pekerjaan yang
sifatnya tetap (pasal 59 ayat 2 UU No.13/2003). Kenyataannya, saya dan kami berada
pada core bussiness yang langsung
pada proses produksi.
·
Jangka waktu PKWT/kontrak paling lama adalah 3
tahun (pasal 59 ayat 4 UU No.13/2003). Saya berstatus pegawai outsourcing, 2 tahun menjadi
PKWT/kontrak koperasi dan 4 tahun PKWT/kontrak anak perusahaan. Janggal?!
·
Sebagai perempuan, saya tidak memperoleh hak
cuti hamil dalam kontrak kerja.
·
Saya harus membayar biaya denda sebesar 100%
upah sisa masa kontrak dan tidak memperoleh pesangon jika berhenti atau diberhentikan
sewaktu-waktu.
Membandingkan
dengan bank atau swasta, mereka yang awalnya pegawai outsourcing memiliki
kesempatan menjadi pegawai tetap, dengan tes penilaian penguasaan pekerjaannya.
Tapi, saya tidak melihat kesempatan itu ada di tempat ini. Jangan tutup mata,
percayalah, bisa dihitung jari berapa orang pegawai tetap di tempat ini yang
betul-betul memikirkan nasib pegawai outsourcing
seperti saya. Saya bukan penjilat, kalaupun penjilat, saya ingin dengan cara
terpuji tanpa menjatuhkan orang lain atau mengemis hina, permasalahan outsourcing sangat kejam bagi saya yang
mengalaminya langsung. Kalaupun meminta saya sabar, setidaknya berikan sabar
yang ada harapan.
Pemerintah sejak
tahun 1997 (solusi krisis moneter) dan 2003 (UU Ketenagakerjaan) menyetujui
sistem outsourcing sebagai solusi
kebijakan menyelamatkan ekonomi negara. Kini kelihatannya lebih mengeksploitasi
buruh macam saya dan memperkaya pengusaha. Mirisnya, banyak pengusaha mencoba menafsirkan
sendiri apa itu outsourcing karena kelemahan
UU No.13 tahun 2003 ketenagakerjaan tidak mengatur detail soal outsourcing. Misalnya saja, penjelasaan
pasal 64 ayat 1 UU No.13/2003, kegiatan yang boleh menggunakan jasa outsourcing antara lain: usaha pelayanan
kebersihan (cleaning service), usaha
penyediaan makanan pekerja/buruh (catering),
usaha tenaga pengaman (security/satuan
pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha
penyediaan angkutan pekerja/buruh. Kata “antara lain” ditafsirkan pengusaha,
selain dari pekerjaan yang disebutkan di atas dapat juga dilakukan secara outsourcing.
Ini mungkin
yang dimaksud Bung Karno, “perjuanganku
lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena
melawan bangsamu sendiri.”
Praktik outsourcing di tiap perusahaan pasti
berbeda-beda, ada yang sesuai ketentuan dan ada juga mencoba mengakali
(melanggar) untuk meningkatkan keuntungan. Sistem outsourcing merupakan kapitalisme dan outsourcing merupakan pengeksploitasian manusia. Eksploitasi
menimbulkan ketimpangan kekuatan yang berdampak ketidakadilan, ketidakadilan
perlu penyeimbang, dan pemerintah hadir sebagai kontrol kekuatan. UU dibuat
oleh DPR/MPR yang bermayoritas pengusaha, lalu jika pemerintah berpihak pada
pengusaha, kemana kami memperoleh keadilan?!
Jika tuntutan
Hari Buruh hanya jadi hiburan di media tiap tahun, karena sulitnya menembus
tuntutan penghapusan outsourcing ke
pemerintah. Setidaknya seperti kata Dahlan Iskan saat menjabat Menteri BUMN,
perusahan BUMN bisa menjadi contoh perusahaan swasta dengan mengikuti aturan UU
Ketenagakerjaan bisa mengangkat pegawai outsourcing
menjadi pegawai tetap. Bernyalikah BUMN melakukannya?! (Oiya, ini 2016
Menterinya udah ganti, Presidennya juga).
Saya memang
tidak sepintar pegawai tetap, tapi saya tidak mau menjadi kerbau yang dicucuk
hidungnya. Kami bisa cerdas kalau dilatih, kami bisa jadi hebat kalau diberi
kesempatan, dan kami menjadi tolol kalau dimatikan ruang geraknya. Sistem outsourcing seperti “kandang” yang
membuat saya tampak tolol, saya tidak diberi kesempatan berkembang. Ingat, ada
ribuan pegawai outsourcing di bawah
tempat ini tersebar di Indonesia dan di bawah naungan anak perusahaan yang bernasib
sama.
Lalu apa yang
saya lakukan ?
Karena negeri ini lucu, yang “vokal” ditendang
dan yang bermuka dua disayang. Itu artinya, jika menjadi ofensif sama saja saya
mengalungi granat di leher sendiri, maka saya mengajak pembaca memahami dulu
apa itu sistem outsourcing. Jangan
mau terbawa arus mencaci tanpa memahami. Saya dan kami merupakan pihak lemah
disini, kami pihak membutuhkan pekerjaan, salah langkah kami yang ditendang.
Doakan saya dan kami selalu dilindungi Tuhan.
Dirgahayu
Republik Indonesia ke-71 tahun. Ajari
kami apa itu kerja nyata!
Tetap menjadi
tanah air tempat ternyaman tanpa diskriminasi.
Jakarta, 17 Agustus 2016