
Cinta, menguji kita dalam drama
ini. Cinta, bumbu termanis sekaligus terpahit dalam drama ini. Cinta, malaikat
sekaligus iblis dalam drama ini.
Cinta, mencoba merasuk jiwa sang
lakon, memberi setetes indah. Ia menghadirkan senyum, menggetarkan melodi detak
jantung, tubuh pun bersinergi dengan semua organ vital di dalamnya. Oksigen
menyergap tiap aliran darah, selaksa berdiri di padang rumput tanpa ujung, aroma wangi bunga
membius sang lakon pada harapan “masih ada sang surya yang setia”.
Lalu sang
lakon berceloteh merdu, “Aku bisa melangkah seringan ini, cinta”;
“Cinta,
membuatku lebih bahagia”;
“Cinta, kau membuatku lebih bermakna”;
“Cinta, kau
bagian dari hidup, jiwa, dan hatiku”; dan… cinta oh cinta.
Tiba-tiba HATI
menjadi organ yang paling ekstra bekerja melebihi OTAK. Cinta melumpuhkan logika,
percayalah itu benar adanya. Karena cinta lebih tahu dimana titik kelemahan si
sang lakon.
Cinta tidak jahat. Cinta tidak
pernah memilih sang lakon. Justru sang lakon lah yang secara tidak sadar membawa
cinta di dalam dirinya.
Cinta menjadi jahat kala ia
membutakan sang lakon. Ia menjadi jahat kala HATI lebih berkuasa ketimbang
OTAK. Ia menjadi jahat kala setetes indah itu telah menjadi ketakutan. Detak
jantung tak lagi seirama, sesak menyergap tiap sela pembuluh darah, dan tubuh
pun tak lagi bersinergi satu sama lain selaksa berdiri di padang pasir tandus tanpa ujung, aroma
bangkai dan hawa panas menyadarkan sang lakon pada kenyataan “masihkah ada sang
surya?”.
Lalu sang lakon berceloteh bingung, “Mengapa langkahku menjadi
tertatih?!”;
“Mengapa kau membuatku sedih, cinta?!”;
“Dimana kau saat aku
sekarat ini, cinta?!”; dan… cinta terdiam.
Nila setitik itu bereaksi menjadi
pesakitan. Pesakitan itu pun mulai melumpuhkan HATI sang lakon.
Tapi, sekali lagi, cinta tidak
jahat. Cinta pula menjadi penawar pesakitan itu. Sekali cinta merasuk tubuh,
percayalah cinta tak kan
pernah meninggalkan sang lakon. Cinta menjadi bagian jiwa drama sang lakon.
Namun cinta sudah tertakdir memiliki siklus seperti itu, seperti drama, dan
sang lakon tidak diberi kesempatan untuk tidak memilih cinta.
Drama ini benar-benar indah,
walau sang lakon dalam pesakitan sekalipun. Aku, dan aku tidak pernah menyesal
sedikit pun berada di drama ini. Sedikitpun aku tidak membenci cinta. Jujur aku
tak ingin cinta hilang dari bagian dramaku ini. Drama ini membuatku mendapat
peran utama sebagai sang lakon cinta. Bukan sebagai Cinderella yang menderita
lalu bahagia, bukan serigala kerudung merah yang licik lalu kalah, tapi sebagai
perempuan yang bahagia lalu bahagia.
Saat segala upaya telah dilalui,
dijalani, dan dilakoni namun cinta membuatmu lelah, ikhlas-lah… biar Allah yang
campur tangan, maka, itulah CINTA.
(ditulis 16 November 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar