Entri Populer

Senin, 25 Juli 2016

Setapak Solo Sejuta Cerita

Solo, untuk ketiga kalinya saya kesini. Karena dua kali cuma bolak-balik disekitaran Cemani, Tegalsari, Slamet Riyadi, dan Beteng Trade Center (BTC).

Kesempatan ketiga saya dan grup siap menjelajah kota Solo dan sekitarnya. Jumat siang selepas dari kantor kami menuju airport mengejar pesawat sore, sempat delay 1 jam (it’s okay alasan diterima). Agak gemes juga karena kami sudah boarding 1 jam tapi pesawat kok nggak take off jua, lagi-lagi traffic flight, oh Soetta. Perjalanan ditempuh 45 menit saja kami tiba di Adi Soemarno Solo. Tujuan kami langsung makan malam di Galabo, yang menarik sepanjang jalan dari airport kanan-kiri banyak sekali polisi, saya kira operasi zebra tapi usut punya usut kedatangan kami bertepatan dengan Presiden Joko Widodo ke Solo juga.  Ya sudahlah mungkin si bapak kangen mbok’e.
anak-anak SD siap berjejer di pinggir jalan menyambut presiden
Galabo (Gladag Langen Bogan) berada di pusat kota Solo, tepatnya di jalan Mayor Sunaryo depan Pusat Grosir Solo. Tempat ini merupakan jalan raya yang ditutup tepat pukul 17:00 sengaja dijadikan pusat kuliner malam. Sepanjang jalan ini berjejer makanan khas Solo yang terkenal seperti nasi liwet wongso lemu, timlo, tengkleng, dsb. Saya pilih makan nasi liwet ati ampela, wedang ronde, jeruk hangat, & karak. Yup, karak ini selalu jadi teman makan di Solo. Semakin malam Galabo semakin ramai ditambah ada live music, cozy, and romantic.
makan malam di Galabo, Solo
Pukul 22:00 kami menuju hotel yang  tidak jauh dari Galabo, Indah Palace Hotel terletak di jalan Veteran. Hotel ini berdesain Jawa keraton, dengan perabot Jawa mewah dan alunan gamelan Jawa. Sepertinya sih hotel lama karena beberapa sudut di kamar dan toilet ada jejak dimakan usia, tapi cukup nyaman kok.
Indah Palace Hotel Solo
Hari kedua jadwal padat untuk wisata alam dan wisata belanja. Selesai sarapan saya menuju Tawangmangu, karena lumayan jauh kami berangkat pagi pukul 07:00. Tawangmangu masuk kabupaten Karanganyar di kaki gunung Lawu, tempatnya dingin dan segar, mengingatkan saya pada kampung halaman ibu di Baturaden. Kurang lebih 1 jam saya tiba di Kawasan Wisata Tawangmangu. Sang driver sempat bingung mencari pintu masuk, maklum si bapak orang Semarang dan jarang ke luar kota Solo.

Tujuan pertama kami Gerojogan Sewu (pancuran seribu-red), untuk sampai loket masuk saya harus berjalan kaki ±300m. Saya sempat diingatkan untuk menjaga barang-barang dan lebih baik tidak perlu membawa makanan dan minuman karena banyaknya monyet dikawasan itu. HTM untuk turis lokal Rp 11.000,- dan turis bule Rp 110.000,-. Saya harus menuruni seribu anak tangga (katanya) untuk sampai ke air terjun, mungkin itu sebabnya dinamakan Gerojogan Sewu. Anak tangga ini cukup nyaman dan tidak begitu curam di sisinya diberi pegangan besi, tapi kenapa semakin lama kaki ini malah bergetar ya, ah masa saya udah nggak kuat sih.
Tangga menurun menuju air terjun, feeling enjoy


Udaranya sejuk, pemandangannya asri, dan jalannya aman. What a perfect travel !
Sampailah pada plang bertulis air terjun, rasanya nggak bisa ngebayangin bagaimana nanti pulangnya harus naik tangga sebanyak itu. Wow, liat air terjunnya dari kejauhan, entah berapa meter tingginya. Mungkin karena masih jam 09:00 pagi belum banyak orang dan matahari bersinar sedang bagus-bagusnya. Jangan sia-siakan cuaca yang bersahabat ini untuk berfoto ria.
Air terjun Gerojogan Sewu, Karanganyar, Jawa Tengah

Aliran air terjun
my team
Seperti di daerah gunung lainnya, disini terkenal panganan sate kelinci. Sebenarnya pernah commite untuk nggak makan daging hewan lucu itu, tapi karena pernah icip penasaran di food court salah satu mall di Bekasi, kok rasanya enak bin empuk banget, jadi jatuh cinta sama lumernya dimulut, jadi saya ikutan pesan deh. Satu porsi harganya Rp 12.000,-. Agak nggak tenang sih makannya karena kehadiran monyet-monyet jahil yang selalu kelaparan. Kata si ibu tukang sate, “pegang batu aja, nanti dia takut.” Wah ternyata sukses, si monyet cuma bisa manyun menatap nanar.
Si monyet sukses merampas kantong makanan pengunjung, yey dapat susu ! bravo nyet !

Jam 10:30 kami siap kembali ke kota Solo dan langit pun mulai mendung, yah maklum namanya juga di gunung cuacanya pasti begini, sendu. Tadinya saya dan grup pulangnya ingin naik kuda, eh ternyata kalau mau naik kuda harus pesan dulu saat beli tiket masuk. Mungkin karena Allah tahu kami anak sholeh dan sholehah, si mas tukang foto di sana memberi jalur berbeda untuk pulang. Satu orang naik ojek untuk memanggil mobil kami, dan saya juga lainnya berjalan kaki di tengah rintik. Alhamdulillah masuk dan pulang kami melewati jalur menurun, jadi aman deh kakinya buat di pakai shoping.

Sebenarnya di sekitar Tawangmangu banyak tempat wisata lain seperti telaga, candi Sukuh, Candi Cetho, dsb. Namun, karena takut tidak cukup waktu ya next time lah. Kembali ke Solo, tujuan ke Kampung Laweyan, kampung ini terkenal sebagai kampung batik. Sejarahnya kampung ini merupakan tempat saudagar-saudagar batik tinggal dan memproduksinya. Makanya di kampung ini beberapa rumah masih bergaya kuno khas orang berada pada jamannya. Seperti salah satu masjid yang saya singgahi untuk shalat dzuhur di Laweyan. Tertulis masjid ini dibangun tahun 1945, sangat vintage Jawa Belanda (entah kenapa saya selalu jatuh cinta dengan yang berbau Indonesia vintage). Kekhasannya yaitu dinding tebal, tempat wudhu bak besar, lampu gantung minyak, pintu dan jendela kayu yang besar, dan pilar kayu yang tinggi. Sayangnya masjid ini kurang terawat dan kotor.

Saya dan grup mampir ke satu house butik depan masjid, Pria Tampan namanya. Seperti namanya yang mempesona, baju yang dijual juga berkualitas dan termasuk murah (murah dibanding baju yang dibuat borongan atau pabrikan), karena info yang diterima baju yang diproduksi dan dijual di Laweyan merupakan home industry. Saya cukup pengalaman, makanya saya langsung beli 3 atasan (hehe).

Mobil melaju ke Warung bu Hj Ani untuk late lunch kami. Tengkleng dan sate buntel. Sate buntel merupakan daging sapi cincang yang dibungkus lemak lalu ditusuk bambu. Satu kata, mblenger. Selesai makan siang, wisata belanja dilanjutkan menuju pasar Jongke sebuah toko bernama Cokro. Toko oleh-oleh ini rekomendasi tetangga saya yang asli wong Solo, katanya lebih murah. Oleh-oleh khas Solo selain batik ya panganannya macam intips, kripik paru, kripik ceker, abon, enting-enting, brem, ampyang, dsb.

It’s time to batiks hunting, Pusat Grosir Solo. Tadinya jadwal mau ke Pasar Klewer, tapi si driver nggak menyarankan karena banyak copet (sebelumnya saya juga sudah sering dengar cerita itu). PGS ini semacam ITC kalau di Jakarta, kebanyakan toko menjual batik jadi, kain, maupun kaos bertuliskan Solo. Batik ada macamnya yang paling mahal batik tulis, murah batik cap, dan luwih murah batik printing. Batik Jawa Tengah seperti Solo lebih ke motif klasik seperti kawung, parang, dsb. Dalam warna, Batik Solo lebih kearah warna tanah seperti coklat dan hitam. Kalau ke Solo nggak afdol rasanya kalau nggak borong batik, yang penting ingat budget. Puas dan tersadar tangan pegal bawa belanjaan, saya berhenti dan kembali ke hotel.

Saya dan grup bersiap santap malam mencari tempat kuliner, kami menuju Ngarsopuro Night Market. Lagi-lagi ini merupakan jalan raya yang tiap Sabtu-Minggu sengaja ditutup dari pukul 19:00 sebagai tempat pasar malam, yang boleh berdagang di tempat ini hanya pemilik KTP Solo, well ini merupakan warisan peninggalan mantan Gubernur Pak Jokowi. Saya berkeliling dari ujung ke ujung, seperti pasar malam biasanya banyak dijual baju dan pernak-pernik. Tapi, saya nggak menemukan tempat makan, hanya terlihat gerobak kopi pop mie saja. Saya dan grup memutuskan ke Kota Barat Solo yang terkenal dengan lesehannya. Saya memesan belut goreng penyet dan teh gitelnas (legi kentel panas), by the way wong Solo memang penyuka teh manis panas (manis kental panas-red). Perut terisi, siap isi tenaga untuk jadwal besok.

Hari ketiga, awalnya saya ingin sekali naik bis tingkat wisata Solo Werdukara, bis merah dengan tiket Rp 20.000,- mengajak wisatawan keliling kota Solo. Tapi sayang, karena harus memesan tiket minimal 1 hari sebelum hari H, saya dapat tiket jam 12:00 siang, dihitung-hitung tidak cukup waktunya sampai ke airport maka saya batalkan.
Tujuan pertama ke Keraton Kasunanan Hardiningrat Surakarta. Sebelumnya kami sarapan di soto gading yang ramainya minta ampun, padahal masih jam 07:00 dan hari Minggu pula. Soto gading sama seperti soto Surabaya namun porsinya sedikit, disebut gading karena ada di daerah bernama Gading. Pelengkapnya ada tempe goreng, paru goreng, brutu, sosis solo, dll yang tersaji di meja dengan nampan kecil.
Soto Gading Solo bersama pelengkapnya tersaji di meja. Nom nom
Ternyata saya kepagian sampai Keraton Kasunanan, loket baru buka 1 jam lagi. Buang waktu saya dan teman yang lain menyewa becak keliling dari alun-alun selatan ke alun-alun utara hanya dengan Rp 30.000,-. Alun-alun keraton seperti di Jogja merupakan lapangan terbuka yang dikelilingi pagar tembok dan ada 2 pohon beringin di tengahnya. Sepanjang jalan saya melewati perkampungan rumah para abdi keraton yang serasa berada di tempo dulu, kandang kebo kramat si kerbau bule, kereta raja, dan kereta jenazah raja.

Becak memasuki kampung batik Kauman, sebenarnya ini nggak masuk jadwal dan saya berniat hanya lewat saja. Tapi  apa boleh dianya, sayang kalau nggak berhenti dan tengok-tengok dulu (okay fix, saya kalap lagi). Kampung Kauman ini seperti Laweyan, dimana warganya memproduksi batik home industry. Kalau di Kauman kualitasnya memang dibawah Laweyan, tapi soal harga sama (hehe). We’ll back at Keraton. HTM Rp 5.000,- kalau bawa kamera tambah biaya Rp 3.500,-. Memasuki keraton, saya diwajibkan membuka alas kaki.

Pertama saya memasuki keraton rasanya adem, tenang, dan teduh. Bangunannya mirip selasar rumah sakit dengan cat dominan putih dan biru dengan lampu minyak gantung yang apik, tapi terlihat sudah diganti dengan bohlam. Pekarangannya ditumbuhi pohon sawo kecik yang berjejer rapi dan bukan tanah yang saya injak melainkan pasir dari 3 tempat (pasir gunung Lawu, Parangtritis, dan satu lagi saya lupa). Konon cerita si abdi tukang sapu keraton, “dulu keraton pernah terbakar, untuk memadamkannya memakai 3 pasir (yang disebutkan).”
Tampak depan Keraton Kasunanan Hardiningrat pagi hari, masih sepi. Yang oranye dekat tiang bukan penampakan.
Saya berkesempatan wefie (foto bareng) dengan abdi penjaga keraton lengkap dengan seragam dan pedangnya. FYI, foto dengan mereka diminta uang sukarelanya. Salah satu bangunan yang menarik adalah menara, katanya di sanalah sang raja kalau bertemu dengan Nyi Roro Kidul. Keraton juga dilengkapi museum yang isinya foto para Raja Paku Buwono, silsilah, dan barang antik koleksi keraton lainnya.
Wefie dengan prajurit keraton
Barisan pohon sawo kecik dalam pekarangan keraton

Menara Keraton yang konon tempat bertemunya Raja dengan Ratu Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul

Koleksi museum Keraton Kasunanan Hadiningrat Surakarta

Selasar dan pendopo dalam keraton Kasunanan Hadiningrat Surakarta
Tujuan kedua, Pura Mangkunegaraan, ini merupakan “keraton” kedua di Surakarta, tapi disebut pura (istana-red). Keraton ini lebih kecil dan tidak terdapat alun-alun. HTM Rp 10.000,- dan harus memakai guide yang dibayar sukarela. Memasuki puro seperti memasuki istana bogor, padang rumput dan kolam ikan yang besar. Ornamen Eropa terlihat dari pintu masuk pendopo, patung singa dan wanita yang katanya hadiah dari orang Belanda jaman dahulu. Memasuki pendopo saya diwajibkan melepas alas kaki, ada 4 pilar kayu ditengah yang katanya merupakan satu pohon yang dibagi 4, siapa yang bisa memeluk salah satu pilar bertemu tangan maka keinginannya terkabul. Beberapa orang di grup melakukannya, lumayan lah buat hiburan melihat ekspresi mereka yang mati-matian nggak bisa haha.
gimana, tangannya belum ketemu tuh !
Beberapa koleksi luar keraton

Saya diajak masuk sebuah ruangan no camera, karena di sana tersimpan barang-barang koleksi puro seperti perhiasan, uang, senjata, mainan pangeran dan putri, dan sebuah tempat pingit pengantin yang saya perhatikan seksama malah bikin merinding. Saya simpulkan bahwa keraton itu tempat yang adem dan teduh, namun kental suasana mistisnya, bisa dimaklumi karena suku Jawa masih menggunakan kejawennya.

Kami sempatkan mampir ke museum Radya Pustaka Solo yang berisi barang-barang sejarah Surakarta dan ke Museum Batik Danar Hadi tapi saya datang bertepatan jam istirahat daripada menunggu kami urungkan. Saya makan siang di rumah makan searah bandara di RM Taman Sari yang menyediakan masakan khas Solo. Tidak pakai pilah-pilih saya langsung ambil garang asem dan tahu bacem. Garang asem merupakan daging ayam yang diberi kuah asam lalu dibungkus daun pisang, karena lidah saya sudah Jawa Jakarta jadi rasa kuahnya bukan asam tapi manis (huhu Jawa sekali).

Ada cerita menarik saat sampai airport, saat checkin di boarding sudah ada info kalau pesawat kami delay 2 jam (what?!!! Gue masih bisa keliling naik bis werdukara kalau begini!!!) Ok, tahan emosi, karena orang sabar nanti disayang pacar (pacarnya sapeh?!). Pesawat yang murah yang saya tumpangi ini emang hobi banget delay. Dulu saat pulang dari Palembang, jadi ini nasi bungkus kompensasi kedua saya, makasih loh singa terbang. But it’s ok, i had a best team, made me laugh everytime. Solo, Spirit of Java, Yes I’ll be back next time.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar