Entri Populer

Rabu, 17 Agustus 2016

Saya (masih) Pegawai Outsourcing

Kibaran merah putih

Saya sudah 6 tahun  berstatus pegawai outsourcing di salah satu perusahaan BUMN (7 Juli 2010 – sekarang Agustus tahun 2016). Selepas menyandang S.sos, saya bekerja di sini, unit marketing sangat membutuhkan tenaga tambahan. Karena berkali-kali sempat patah arang sulitnya mendapat pekerjaan, tidak melewatkan kesempatan. Apply sana-sini dari Bank, Swasta, statsiun TV, CPNS, dll tes dan interview ini-itu dengan hasil penjatuhan mental dari seorang HRD, penolakan dengan alasan lucu, dan pengharapan palsu menunggu panggilan selanjutnya 3 hari, 1 minggu, 2 minggu, hingga 1 bulan saya menunggu dan sudahlah…
Teman-teman seperjuangan pencari kerja, satu-persatu sudah bekerja di berbagai bidang, mungkin garis Tuhan yang membawa saya ke perusahaan BUMN ini, tanpa tahu saya akan bekerja apa saat itu. Kenapa mungkin, karena sejak saya bekerja di sini tak ada satu pun perusahaan lain yang menghubungi untuk tes atau wawancara. Kemana belasan surat lamaran saya itu?!
Berjalan waktu, saya bekerja dengan belajar secara otodidak (tanpa training) dari nol jauh dari ilmu yang saya peroleh di tempat kuliah, kelamaan saya menikmati pekerjaan ini terkadang jadi kurir, olah data sistem, dan petugas fotokopi. Sedikit info, jobdesk saya sebagai sales marketing menawarkan dan mendealkan produk ke pelanggan, kenyataannya saya bekerja di belakang layar perusahaan ini mengurus A sampai Z fee salesnya. Bahkan meng-handle pekerjaan 1-3 orang pegawai tetap sekaligus. Saya lebih baik, ada garda terdepan, petugas jaringan kabel yang siang terik bekerja menghubungkan komunikasi pelanggan.
Berstatus sebagai pegawai PKWT/kontrak (Perjanjian Kontrak Waktu Tertentu) di koperasi pegawai (Kopeg) selama 2 tahun, pegawai koperasi yang tidak bisa menjadi anggota koperasi karena bukan pegawai BUMN di situ. Januari 2013, terjadi penyesuaian dimana koperasi tidak boleh mengelola jasa tenaga kerja, dari sini saya makin paham siapa saya di BUMN ini, status saya adalah pegawai kontrak outsourcing. Sejak itu sampai sekarang, di bawah naungan anak perusahaan sang BUMN, saya menandatangani surat kontrak masa kerja 1 tahun. Pembaharuan kontrak tiap 1 tahun sekali, masa kerja 1 tahun dan penyesuaian UMP (Upah Minimum Propinsi) sesuai ketetapan UU. Ya, saya hanya digaji Upah Minimum tanpa tambahan uang transport, makan, bahkan jabatan (kalian bukan siapa-siapa di sini). Pegawai outsourcing pasti dianggap robot, tidak perlu makan dan ongkos jalan. Luar biasa!
Awalnya hanya batu loncatan “belajar” bekerja, tapi ilmu dan kepercayaan yang diberikan membuat saya terlena di perusahaan ini. Semakin mau belajar, semakin pintar, semakin bertambah pekerjaan yang diberi, dan semakin banyak pujiaan yang didapat. Begitu kiranya poin awal bekerja yang saya dapat. Sekali lagi, saya bukan siapa-siapa di tempat ini, tanggung jawab pekerjaan yang sama tapi hanya dihargai upah minimum, adilkah?!. 6 tahun di perusahaan ini membuat saya kenal betul tiap detailnya. Saya tahu fasilitas apa saja yang mereka dapat dan hak-hak lainya yang mereka peroleh, dan saya tidak. Kenapa saya bisa tahu?! Saya beruntung berada di lingkungan core bussiness, info-info seperti itu seperti rahasia umum.
Pegawai outsourcing seperti kisah kelam yang disembunyikan rapat-rapat, saat yang sama pemberitaan perusahaan ini wara-wiri di portal berita online dengan meraup keuntungan sekian triliyun serta penghargaan hebat lainnya. Saya tahu berapa besaran bonus  yang mereka terima belum lama ini, jangan tanya berapa, rasanya tak etis menyebutnya. Kebijakan internal membuat kami pegawai outsourcing juga menerima “kebahagian” mereka, sekali lagi jangan tanya berapa, nilai positifnya management perusahaan masih ingat “ada” kami. Sebagai minoritas, pegawai outsurcing, akan ada istilah (entah siapa yang buat) di BUMN ini: Pegawai tetap disebut karyawan/organik dan Pegawai outsourcing disebut anak outsourcing/Tenaga Kontrak. Itu salah satu contoh kecil diskriminatif yang saya terima, belum lagi perbedaan seragam pegawai, gaji, fasilitas, dll.
Buya Hamka berkata, “…kalau hidup sekedar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekedar bekerja, kera juga bekerja.”
Bukan saya sedang tidak bersyukur, tapi sabar, nerima, dan bersyukur sudah jadi obat saat merasa ketidakadilan. Saya juga bagian dari perusahaan ini  dan ikut berkontribusi.  Ya, munafik tidak kalau saya bilang i love my job?!? Banyak hal yang membuat saya betah seperti lingkungan pegawai yang membuat saya seperti anak di rumah kedua dan tidak ada senioritas (bandingkan dengan kerja di swasta). Bak orang memadu kasih, sebenci apapun kalian pasti ada satu hal yang bisa membuat kalian kembali. Istilah hubungan cinta, harus ada perjuangan dan pengorbanan dari keduannya, saat saya pegawai outsourcing yang selama ini diam saja, menerima saja, sabar saja, bersyukur saja, lalu sampai kapan?! Bukankah wajar kalau saya mengharap  feedback yang setimpal ?!
Cari aja kerjaan yang lebih baik !
ini sepertinya kalimat paling solutif yang sering saya terima. Bapak/ibu itu bukan solusi, mencari pekerjaan seperti cari jodoh, sudah sesuai kriteria sampai IP tinggi kalau bukan ya tidak bakal jadi. Ada yang salah dengan sistem outsourcing !!! Perbedaan dan hak-hak yang pegawai outsourcing terima terlalu jomplang dibandingkan pegawai tetap. Beberapa permasalahan yang saya alami:
·         Sistem pembaharuan 30 hari sebelum masa kontrak habis membuat saya seperti pegawai baru yang mulai dari nol kembali, masa pengabdian kerja saya tidak diperhitungkan.
·         Tidak adanya evaluasi kerja membuat semua pegawai outsourcing dianggap sama, menjadi pegawai baru, sehingga tidak melihat latar belakang pendidikan saya, dimana jika pegawai tetap itu akan menjadi pembeda gaji dasar. Fyi, pegawai outsourcing berlatar pendidikan yang beragam dari SMA/SMK sampai D3/S1.
·         Perusahaan outsourcing sebagai penyedia jasa tenaga kerja pasti meminta fee yang ujungnya memotong upah kami, karena melanggar UU jika diupah di bawah UMP, maka diupah UMP saja, tanpa tunjangan apapun. Fyi, besaran upah yang disepakati antara perusahaan outsourcing (anak perusahaan) dengan perusahaan klien (BUMN) berbeda dengan yang di dapat pegawai outsourcing, itu karena potongan yang bisa mencapai 30%, dan kami tidak pernah tahu besarannya.
·         Tanpa bonus, uang makan, uang transport, uang skill, uang jabatan, dll. Walau di beberapa kasus ada yang dapat, tapi harganya menyedihkan.
·         Pegawai outsourcing berstatus PKWT/kontrak. Padahal PKWT/kontrak tidak untuk pekerjaan yang sifatnya tetap (pasal 59 ayat 2 UU No.13/2003). Kenyataannya, saya dan kami berada pada core bussiness yang langsung pada proses produksi.
·         Jangka waktu PKWT/kontrak paling lama adalah 3 tahun (pasal 59 ayat 4 UU No.13/2003). Saya berstatus pegawai outsourcing, 2 tahun menjadi PKWT/kontrak koperasi dan 4 tahun PKWT/kontrak anak perusahaan. Janggal?!
·         Sebagai perempuan, saya tidak memperoleh hak cuti hamil dalam kontrak kerja.
·         Saya harus membayar biaya denda sebesar 100% upah sisa masa kontrak dan tidak memperoleh pesangon jika berhenti atau diberhentikan sewaktu-waktu.
Membandingkan dengan bank atau swasta, mereka yang awalnya pegawai outsourcing memiliki kesempatan menjadi pegawai tetap, dengan tes penilaian penguasaan pekerjaannya. Tapi, saya tidak melihat kesempatan itu ada di tempat ini. Jangan tutup mata, percayalah, bisa dihitung jari berapa orang pegawai tetap di tempat ini yang betul-betul memikirkan nasib pegawai outsourcing seperti saya. Saya bukan penjilat, kalaupun penjilat, saya ingin dengan cara terpuji tanpa menjatuhkan orang lain atau mengemis hina, permasalahan outsourcing sangat kejam bagi saya yang mengalaminya langsung. Kalaupun meminta saya sabar, setidaknya berikan sabar yang ada harapan.
Pemerintah sejak tahun 1997 (solusi krisis moneter) dan 2003 (UU Ketenagakerjaan) menyetujui sistem outsourcing sebagai solusi kebijakan menyelamatkan ekonomi negara. Kini kelihatannya lebih mengeksploitasi buruh macam saya dan memperkaya pengusaha. Mirisnya, banyak pengusaha mencoba menafsirkan sendiri apa itu outsourcing karena kelemahan UU No.13 tahun 2003 ketenagakerjaan tidak mengatur detail soal outsourcing. Misalnya saja, penjelasaan pasal 64 ayat 1 UU No.13/2003, kegiatan yang boleh menggunakan jasa outsourcing antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha penyediaan makanan pekerja/buruh (catering), usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha penyediaan angkutan pekerja/buruh. Kata “antara lain” ditafsirkan pengusaha, selain dari pekerjaan yang disebutkan di atas dapat juga dilakukan secara outsourcing.
Ini mungkin yang dimaksud Bung Karno, “perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Praktik outsourcing di tiap perusahaan pasti berbeda-beda, ada yang sesuai ketentuan dan ada juga mencoba mengakali (melanggar) untuk meningkatkan keuntungan. Sistem outsourcing merupakan kapitalisme dan outsourcing merupakan pengeksploitasian manusia. Eksploitasi menimbulkan ketimpangan kekuatan yang berdampak ketidakadilan, ketidakadilan perlu penyeimbang, dan pemerintah hadir sebagai kontrol kekuatan. UU dibuat oleh DPR/MPR yang bermayoritas pengusaha, lalu jika pemerintah berpihak pada pengusaha, kemana kami memperoleh keadilan?!
Jika tuntutan Hari Buruh hanya jadi hiburan di media tiap tahun, karena sulitnya menembus tuntutan penghapusan outsourcing ke pemerintah. Setidaknya seperti kata Dahlan Iskan saat menjabat Menteri BUMN, perusahan BUMN bisa menjadi contoh perusahaan swasta dengan mengikuti aturan UU Ketenagakerjaan bisa mengangkat pegawai outsourcing menjadi pegawai tetap. Bernyalikah BUMN melakukannya?! (Oiya, ini 2016 Menterinya udah ganti, Presidennya juga).
Saya memang tidak sepintar pegawai tetap, tapi saya tidak mau menjadi kerbau yang dicucuk hidungnya. Kami bisa cerdas kalau dilatih, kami bisa jadi hebat kalau diberi kesempatan, dan kami menjadi tolol kalau dimatikan ruang geraknya. Sistem outsourcing seperti “kandang” yang membuat saya tampak tolol, saya tidak diberi kesempatan berkembang. Ingat, ada ribuan pegawai outsourcing di bawah tempat ini tersebar di Indonesia dan di bawah naungan anak perusahaan yang bernasib sama.
Lalu apa yang saya lakukan ?
 Karena negeri ini lucu, yang “vokal” ditendang dan yang bermuka dua disayang. Itu artinya, jika menjadi ofensif sama saja saya mengalungi granat di leher sendiri, maka saya mengajak pembaca memahami dulu apa itu sistem outsourcing. Jangan mau terbawa arus mencaci tanpa memahami. Saya dan kami merupakan pihak lemah disini, kami pihak membutuhkan pekerjaan, salah langkah kami yang ditendang. Doakan saya dan kami selalu dilindungi Tuhan.
Dirgahayu Republik Indonesia ke-71 tahun.  Ajari kami apa itu kerja nyata!
Tetap menjadi tanah air tempat ternyaman tanpa diskriminasi.
Jakarta, 17 Agustus 2016